SINGLE PARENT :
Tidakkah Lebih Baik Bersama ?
“Sesungguhnya perceraian, adalah suatu hal yang seharusnya sangat-sangat terakhir untuk dipikirkan”
“Bagaimana
mungkin taraf pendidikan masyarakat yang kini jauh lebih berkembang dan
maju, telah mendorong kasus perceraian menjadi semakin tinggi ?
Dalam
beberapa tahun terakhir ini, sering kali berbagai media mengangkat tema
tentang bagaimana kiat-kiat dan persiapan diri jika terjadi musibah
kiamat rumah tangga. Apakah ini sebuah pertanda sedang terjadinya
fenomena sosial? Fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang baik.
Perceraian merupakan indikasi kecerdasan sosial masyarakat yang buruk.
Tingkat
perceraian beberapa tahun terakhir ini cenderung meningkat tajam.
Ditambah lagi, dengan dieksposnya perpecahan rumah tangga dari kelompok
selebrita. Kaum selebrita yang notabene kini menjadi “panutan”
masyarakat dalam bersikap dan bertindak. Sadar atau tidak, hal ini telah
menggiring opini masyarakat bahwa perpecahan rumah tangga adalah suatu
hal yang biasa.
Sesungguhnya perceraian, adalah suatu hal yang
seharusnya sangat-sangat terakhir untuk dipikirkan, apalagi dibicarakan
dan diwujudkan. Karena secara tidak langsung perceraian menunjukkan
tingkat ego masyarakat yang semakin tidak terkendali. Ditambah lagi
dengan wawasan yang salah kaprah sehingga masyarakat tidak lagi
mensakralkan suatu lembaga rumah tangga. Sangat ironi, kasus perceraian
justru lebih dominan terjadi dikalangan terpelajar, yang hidup
diperkotaan, bahkan kalau boleh dibilang, segala sumber daya berupa
materi sudah dicukupi. Apa lagi yang kurang ? Mobil dua, rumah tiga,
tabungan dan asuransi punya….
Gaya hidup, telah menuntut kita
semua untuk berlomba berusaha mendapatkan apa yang sebetulnya tak perlu
dipenuhi untuk menambah gaya kehidupan kita. Pertanyaannya adalah kenapa
mesti banyak gaya ? ngapain susah-susah mencari kompensasi diri ?
Mencari pelarian ?
SINGLE PARENT : menambah kesulitan hidupPernahkah
terpikirkan oleh kita bahwa kondisi single parent itu sangat tidak enak
? seharusnya kita tidak berlindung pada alasan bahwa lebih baik sendiri
… lebih bebas… mau mengambil keputusan apa saja semua kita yang
tentukan.
Padahal, dalam kebebasan semu yang kita miliki,
sesungguhnya kita berada dalam kondisi mengawang-awang… tak tau mau
kemana. Akhirnya, kita mencari pelarian untuk menghibur diri. Mencari
kesibukan untuk mengalihkan keinginan hidup berdampingan, dan lebih
egois lagi, mengenyampingkan hak anak untuk mendapatkan kasih sayang
dari kedua orang tuanya.
Padahal dalam pengambilan keputusan atas
suatu tindakan, kita tak tau harus curhat pada siapa? Sahabat karib?
apakah dapat kita percaya 1000%? kemana sahabat ketika kita sedang
menangis ? apakah ia juga menangis? Apa sungguh tangisnya? Setelah ia
selesai turut menangis, apakah masalah kita dan resiko kita ia mau
menanggung juga ? jika kita kena PHK, namun ia lolos dari PHK, apakah ia
mau juga menganggur menemani kita? Jawabannya pastilah Cuma turut
prihatin… Hanya pasangan hidup kitalah yang sesungguhnya mau mengerti
dan turut merasakan dan mencari solusi atas semua problema yang kita
hadapi.
“Ngapain” kita harus mempersiapkan diri menjadi single
parent ? Sebab jika pikiran kita telah kearah single parent, pada
dasarnya kita telah kehilangan kepandaian dan kehebatan kita dalam
beberapa hal, yaitu manajemen emosi, manajemen waktu dan attitude.
Bandingkan seberapa sering kita memikirkan keutuhan rumah tangga dalam 1
bulan? dengan seberapa sering kita melupakan kata single parent ? Jika
“jarang” adalah jawabannya, maka tinggal tunggu waktu kehancuran rumah
tangga akan terjadi.
Oleh karenanya, marilah kita jauhi persiapan
menjadi single parent. Pikirkanlah selalu bahwa kita pantas untuk hidup
bahagia secara utuh. Karenanya, yang harus ada dalam pikiran kita adalah
bagaimana bahagia bersama.
Bagaimana jika telah terjadi ?
Tentunya
kita makhluk hidup mempunyai hak untuk mendapatkan masalah, dan
memiliki kewajiban menyelesaikan masalah dengan baik. Memang tidak
dilarang kita berkonsultasi kepada sahabat, rekan atau para ahli. Namun
yang perlu diingat adalah bahwa yang memahami situasi rumah tangga kita
adalah kita sendiri. Pihak luar tidak lah mengerti dengan situasi dan
kondisi yang terjadi dalam rumah tangga kita.
Setiap penyakit
pasti ada obatnya, namun setiap obat belum tentu berkhasiat sama
terhadap penyakit yang ada dalam tubuh kita. Berhati-hatilah dalam
“mengkonsumsi” nasehat atau saran masukan yang kita terima. Sesal
kemudian memang tiada guna. Karenanya perbaikilah dari diri kita. Mari
mulai bangun dari dasar. Bahwa diri kita pantas mendapatkan kebaikan
dari pasangan jika kita baik. Jangan berpuas diri dan merasa telah
memberi lebih dengan pasangan hidup kita, atau terlalu menuntut lebih.
Jika
musibah telah terjadi dan menimpa rumah tangga, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah koreksi diri. Jangan takut menjujuri diri
sendiri. Tak ada yang tahu. Bahkan Tuhan pun akan salut pada diri kita.
Tuhan akan lebih mau memberikan petunjuk dan jalan keluar atas musibah
yang kita alami.
Kedua, lakukan koreksi dan perbaikan pada diri
kita. Ketiga, cari pendamping hidup baru. Jangan tunda, jangan
berprasangka buruk atas keburukan rumah tangga kita sebelumnya. Sebab
jika kita berprasangka buruk atas musibah terdahulu, maka sesungguhnya
penyebab keburukan itu ada pada diri kita juga.
Komunikasi dalam rumah tanggaKomunikasi
yang terbuka dan jujur, adalah obat yang paling manjur. Bagaimana
seorang dokter mampu memperoleh informasi berkaitan dengan penyakit kita
secara lengkap ? Bisa saja kita dustai, namun kita tak mau menderita
penyakit lain akibat salah obat. Pun demikian diri kita
tentunya
tidak menginginkan penderitaan dalam kehidupan ini. Untuk itu, terhadap
pasangan kita, jadilah “dokter cinta” terhadap pasangan kita. Jalankan
tugas sebagai dokter cinta dengan baik, jauhi malpraktek. Layani dengan
baik, sebab dengan pelayanan yang baik, sang pasien cinta tak akan
mencari dokter lain. Jika “pasien” kita kurang jujur, carilah cara yang
lebih bijak. Berkomunikasilah dengan pasien cinta kita secara intens.
Dan sebaliknya, kita sebagai pasien juga harus jujur, sehingga dokter
cinta kita melayani dengan baik.
SELAMAT HIDUP BAHAGIA. (GR)